I Have a Lover Ep 46 Part 1

Sebelumnya...


Hae Gang masuk ke kamar Jin Eon untuk menemui Jin Eon. Jin Eon berkata, bahwa ia tidak ingin membagi bebannya dengan Hae Gang. Karena ia mencintai Hae Gang, ia tidak bisa melakukannya.

“Menikah itu bukan main-main.” Ucap Jin Eon.

“Aku sudah berubah.” Jawab Hae Gang.

“Ara/aku tahu. Tapi aku juga sudah berubah.” Jawab Jin Eon.

“Jika Ibuku yang mengidap demensia, apakah kau juga akan berkata demikian? Karena pernikahan merupakan realita, akankah kau meninggalkanku, berkata kita tak bisa melakukannya bersama? Akankah kau mengatakannya kalau begitu?” tanya Hae Gang.

Dan Jin Eon pun terdiam.

“Lihat? Bukan aku, melainkan dirimu yang tidak berpikir dengan semestinya. Sekarang aku tidak hanya mencintai orangnya, Choi Jin Eon. Rasa sakit pria itu, penderitaan, kesedihan dan hidupnya, aku cinta semuanya. Saat umurku 20 tahun, melihat cintamu, aku memilihmu. Tapi kini, aku melihat segalanya dan aku memilihmu, jadi cobalah percaya padaku. Aku akan menunggu lamaranmu.” Ucap Hae Gang.


Hae Gang lantas mendekati Jin Eon, ia memegang wajah Jin Eon dengan kedua tangannya.

“Tidur yang nyenyak, Kekasihku.” Ucap Hae Gang.

Hae Gang lalu beranjak pergi, keluar dari kamar Jin Eon. Dan Jin Eon, ia speechlees. Tidak tahu harus berkata apa.


Hae Gang tidur di kamar Nyonya Hong. Nyonya Hong sudah mulai tertidur. Sedangkan Hae Gang masih terjaga. Tiba2 saja, Nyonya Hong gelisah dalam tidurnya. Hae Gang pun menepuk2 lengan Nyonya Hong untuk menenangkan Nyonya Hong. Seketika itu juga, Nyonya Hong pun tenang dan kembali tidur pulas.


Keesokan harinya… Jin Eon sedang bersiap2 di kamarnya. Tak lama kemudian, Hae Gang datang membawakan segelas juice untuk Jin Eon. Jin Eon pun tersenyum. Jin Eon lalu bertanya apa Hae Gang tidur dengan nyenyak.

“Aku tidur sangat nyenyak dari yang sudah-sudah selama ini.” jawab Hae Gang.

“Bagaimana dengan Ibu?” tanya Jin Eon.

“Ibu Mertua juga tidur nyenyak. Perawat Sohn baru saja datang, jadi dia memperlihatkan padanya kamar yang akan ditempatinya. Cepat minum ini. Ibu Mertua menyuruhku agar berdiri mengawasi dan memastikan agar membawa gelas kosong.” Jawab Hae Gang.


Jin Eon mendesis pelan, lalu meminum juice nya. Hae Gang terus menatap Jin Eon, sambil tersenyum. Jin Eon yang menyadari Hae Gang terus menatapnya sedari tadi ingin tahu kenapa Hae Gang terus menatapnya.

“Bukan apa-apa.” Jawab Hae Gang.

“Apanya yang bukan apa-apa? Kau bahagia atau sedih?” tanya Jin Eon.

“Dua-duanya.” Jawab Hae Gang.


Hae Gang lalu melirik dasi Jin Eon yang tergeletak di kasur.

“Kau akan memakai ini? Akan kupasangkan untukmu.” Ucap Hae Gang.


Jin Eon terpana melihat Hae Gang yang sibuk memasangkan dasi untuknya. Usai memasang dasi Jin Eon, Hae Gang menatap Jin Eon. Ia pun bingung mendapati Jin Eon tengah menatapnya. Jin Eon kemudian mengelus rambut Hae Gang, lalu menarik Hae Gang ke dalam pelukannya.
“Kau bahagia atau sedih, dangsin?” tanya Hae Gang.

“Dua-duanya. Akankah kita dapat berbahagia lagi? Akankah aku dapat membuatmu bahagia? Meskipun kebahagiaan ini akan hancur pada akhirnya. Aku akan membuatmu sedih lagi. Hae Gang, untukmu, aku ingin melindungi cinta kita yang begitu sulit.  Aku takkan menghancurkannya lagi.” Jawab Jin Eon.


Hae Gang kemudian melepaskan dirinya dari pelukan Jin Eon, lalu menatap Jin Eon.

“Tidak akan mudah hancur. Uri sarang eun. Karena kita menemukannya lagi dengan begitu sulit, aku takkan membiarkannya terjadi. Aku akan membuatmu bahagia. Kau bisa beristirahat sekarang, oke?” ucap Hae Gang.


Hae Gang kemudian pergi, tapi tak lama kemudian ia datang membawa kamera dan memotret Jin Eon.

“Kau sudah menua, Choi Jin Eon. Hei, mengapa kau jadi begitu tua?” ucap Hae Gang saat melihat hasil jepretannya.

“Kau akan memulainya pagi-pagi?” tanya Jin Eon.


“Lihatlah fotomu, aku bisa lihat kau sudah menua.” Jawab Hae Gang kemudian memperlihatkan hasil jepretannya pada Jin Eon.

“Meskipun aku mencintai Choi Jin Eon muda, aku lebih mencintai Choi Jin Eon yang lebih tua. Maukah kau mengambilnya untukku lagi? Penampilanku yang menua. Penampilanku yang cuma kau tahu, aku saja tidak tahu.” ucap Hae Gang, membuat Jin Eon tertegun.


Jin Ri yang baru pulang terkejut melihat Hae Gang di rumahnya. Dengan dinginnya, ia bertanya, kau tidur di sini? Hae Gang membenarkan. Jin Ri bertanya lagi, di kamar Jin Eon?

“Tidak, aku tidur bersama Ibu Mertua.” Jawab Hae Gang.

“Apa? Tidur dengan siapa?” tanya Jin Ri tidak percaya.

“Dia sangat khawatir. Ibu Mertua sangat khawatir. Dia bahkan menghubungi hotel tempatmu menginap. Dan dia gelisah sepanjang waktu sampai dia menghubungi mereka tadi pagi.” Jawab Hae Gang.

“Ibu Mertua? Ibu Mertua siapa? Kau sudah menutupi wajahmu dengan beton. Berani sekali kau berkata Ibu Mertua? Di mana ini sampai-sampai kau punya nyali jalan berkeliaran? Keluar. Pergi selagi aku mengatakannya. Sebelum kusiramkan air selokan padamu, enyah dari sini. Aku bahkan tidak kuat berkelahi denganmu. Aku sudah melepaskan pencarian, dan aku sudah melepaskan suamiku. Aku lepaskan semuanya. Jadi jika kau memiliki nurani setidaknya seukuran mata anak ayam,maka singkirkan muka tembok itu dari penglihatanku, ya?” ucap Jin Ri.


“Terlalu dini melepaskan pencarian. Jika mereka tak dapat menemukan jasadnya, dia akan menjadi orang hilang dan dicari. Bila polisi berhenti mencari, maka setidaknya hubungi penyelam swasta. Mereka harus menemukannya pada akhirnya.” jawab Hae Gang.

Jin Ri terkejut, Apa? Penyelam swasta?


Jin Ri kemudian pergi, tapi hanya sebentar. Ia pergi hanya untuk mengambil garam. Ia melemparkan garam itu ke Hae Gang.

“Dasar pembawa sial! Kau sungguh, benar-benar pembawa sial! Pergi! Pergi! Tolong pergi saja! Aku benci melihatmu jadi pergilah. Kataku keluar!!” teriak Jin Ri.


Tepat saat itu, Nyonya Hong keluar dari kamar bersama Perawat Sohn

“Kau tak bisa menghentikannya? Hentikan itu, Choi Jin Ri! Betapa buruknya tampang itu pagi-pagi! Menurutmu kau bisa memulai ini karena Ayahmu sudah tidak ada? Apakah aku tampaknya menggelikan bagimu? Memangnya aku bukan orang dewasa?” ucap Nyonya Hong.

“Jika kau tak ingin kelihatan menggelikan, maka bertingkahlah dengan semestinya, Ibu Tiri! Buat keputusan yang tepat, kataku. Meskipun pikiranmu datang dan pergi. Dialah orang yang menghabisi suamimu. Mengapa Ayah ambruk? Menurutmu gara-gara siapa Ayah menjadi penjahat yang ditahan dan ditangkap dalam semalam? Apakah kau tak tahu dia ambruk lantaran tekanan itu? Kau lupa? Suami Ibu Tiri kena serangan jantung gara-gara dia. Gara-gara orang jahat seperti dia!” jawab Jin Ri.



Nyonya Hong yang kesal dengan tuduhan Jin Ri, menyuruh Perawat Sohn mengambil ponsel Presdir Choi. Jin Ri pun bingung kenapa ibu tirinya menyuruh Perawat Sohn mengambil ponsel ayahnya.

“Orang yang membuat suamiku ambruk bukan Hae Gang. Suamimu. Menantu Min. Suamimu mengirimkan SMS sebelum dia tewas. Kurasa jantung ayahmu kumat setelah melihat SMS itu. Tampaknya seperti itulah kejadiannya.” Ucap Nyonya Hong.


Hae Gang kaget mendengarnya. Perawat Sohn datang membawa ponsel Presdir Choi. Nyonya Hong pun langsung menunjukkan sms ancaman yang dikirimkan Tae Seok pada Presdir Choi. Jin Ri langsung diam setelah membaca sms itu. Nyonya Hong lantas mengajak Perawat Sohn sarapan.


Hae Gang mendekati Nyonya Hong yang sedang sarapan. Nyonya Hong menanyakan Jin Eon. Hae Gang bilang kalau Jin Eon sedang menerima telepon dari seseorang, dia akan turun setelah itu.

“Beri dia sarapan sebelum pergi. Dia akan makan jika kau menyuruhnya.” Ucap Nyonya Hong.

“Katanya dia ada rapat. Kupikir aku hanya akan mengantarkannya tanpa sarapan hari ini.” jawab Hae Gang.

“Dan Jin Ri, bawakan dia bubur abalone. Dia akan memakannya jika kau bawakan.” Ucap Nyonya Hong.


Jin Ri kembali ke kamarnya dengan keadaan terguncang. Ia tak menyangka bahwa suaminya lah pencetus kumatnya jantung ayahnya. Tak lama kemudian, Jin Ri meraih ponselnya dan menghubungi Tae Seok. Tae Seok terkejut saat mendengar Jin Ri membacakan ulang isi sms yang dikirimnya untuk Presdir Choi.

“Kau yang menghabisinya. Kau tahu? Kau membunuh Ayahku, Min Tae Seok. Ayahku terlambat ditemukan, jadi dia tewas padahal dia bisa diselamatkan. Kau bahkan tak bisa mati. Kau bahkan tidak berniat mati. Gara-gara pertunjukan bunuh dirimu, aku dan Jin Eon berada di kantor polisi saat itu.” ucap Jin Ri.

“Mianata. Mianata,  Jin Ri-ya. Aku juga tak tahu akan menjadi seperti itu. Aku tak menyangka dia jadi terkejut karena SMS itu... Kalau begitu, sungguh? Apakah dia benar-benar pingsan gara-gara melihat SMS itu? Benarkah?” jawab Tae Seok.

“Kau merasa lega? Kau merasa lega setelah membalaskan dendam ayahmu? Bagaimana bisa kau hidup 30 tahun hanya untuk balas dendam itu? Apakah itu manusia? Kau manusia?” ucap Jin Ri.


Jin Ri lalu mengakhiri pembicaraan mereka. Ia benar2 kecewa mengetahui fakta suaminya lah pembunuh ayahnya. Jin Ri kemudian melepaskan jaketnya, lalu beranjak ke kamar mandi. Saat itulah, Hae Gang masuk ke kamar Jin Ri membawakan bubur abalone. Tepat saat itu, ponsel Jin Ri berbunyi. Satu SMS masuk, Hae Gang pun terhenyak membaca SMS yang dikirimkan oleh Tae Seok itu.

“Itu bukan pertunjukan, maaf. Aku tulus. Aku tak bisa menceraikanmu sekarang meskipun ingin. Aku hanya bisa memohon ampun darimu. Maafkan aku. Kumohon.”



Jin Eon keluar dari kamarnya dan melihat Hae Gang di ruang tengah. Begitu mendengar suara Jin Eon, Hae Gang yang tengah melamun memikirkan Tae Seok sembari memegang ponselnya pun terkejut dan langsung menatap Jin Eon.

“Kau sudah melihat Ibumu?” tanya Hae Gang.

“Ya, sekarang dia sedang belajar (permainan) Go-Stop dari Perawat Sohn.” Jawab Jin Eon.

“Apa, Go-Stop? Itu akan membantu menghabiskan waktu. Dan akan membantu menyibukkan pikirannya.” Ucap Hae Gang.

Jin Eon mengangguk.


Hae Gang lantas ingin memberitahu Jin Eon bahwa Tae Seok masih hidup. Namun ia tampak ragu. Dan pada akhirnya, ia tidak jadi memberitahu Jin Eon dan malah berkata bahwa ia mencintai Jin Eon.

“Apa?” tanya Jin Eon.

“Berhentilah pura-pura tidak dengar. Aku hanya akan mengatakannya sekali dalam sehari.” Jawab Hae Gang.


Hae Gang lantas merangkul lengan Jin Eon dan ingin mengantar Jin Eon sampai pintu depan. Tapi Jin Eon meminta Hae Gang mengantarnya hanya sampai serambi pintu saja. Begitu sampai di serambi  pintu, Hae Gang merapikan dasi Jin Eon. Tepat saat itu, Nyonya Hong keluar dari kamarnya dan termenung melihat kemesraan keduanya.


Di tempat persembunyiannya, Tae Seok menerima panggilan dari seseorang. Ia terkejut karena orang itu tak mengatakan sepatah kata pun, dan menutup teleponnya begitu saja.

Hae Gang yang menghubungi Tae Seok menggunakan telepon milik kantor developer. Si pemilik kantor developer merasa seseorang yang dihubungi Hae Gang tadi tidak akan menghubunginya kembali, namun Hae Gang sepertinya yakin kalau Tae Seok akan segera menghubungi kantor developer itu


Dan, dugaan Hae Gang itu benar! Telepon di kantor developer itu seketika berdering setelah mereka menunggu selama beberapa menit. Tae Seok menghubungi mereka dari telepon umum. Tae Seok terkejut mengetahui yang menghubunginya tadi adalah seorang developer. Hae Gang pun mulai menyalakan alat perekamnya.

“Siapa ini? Anak sekolah dasar, ya? Bagaimanapun, aku tidak ada bisnis jadi rasanya sebal.Jika aku menangkapmu, tamat riwayatmu.” Pancing si developer.


Dan, berhasil! Tae Seok akhirnya bicara. Hae Gang pun terkejut.

“Maaf, tapi satu jam yang lalu, Anda menghubungi nomor 010-186-2455?” tanya Tae Seok.

“Saya tidak menghubungi.” Ucap si developer.

“Adakah orang lain di kantor pengembang perumahan itu?” tanya Tae Seok.

“Saya sendirian di sini. Karena perekonomian sangat buruk. Apakah pelanggan yang menghubungi?” ucap si developer.

“Pelanggan? Pelanggan seperti apa? Wanita atau pria?” tanya Tae Seok panik.

“Cuma pasangan pengantin baru biasa.” Ucap si developer.


Hae Gang lantas memberi si developer kode untuk menyudahi pembicaraan. Si developer pun langsung mematikan teleponnya dan Hae Gang menyudahi rekamannya. Hae Gang kemudian berterima kasih atas bantuan si developer.


Hae Gang pun bergegas ke kantor polisi, namun setibanya di sana, ia malah urung melaporkan temuannya pada polisi lantaran teringat kata2 Jin Ri.

“Apa kau bisa memaafkanku jika aku melakukan hal yang sama pada Jin Eon?” tanya Jin Ri.


Kini, Hae Gang duduk melamun di kamar sambil memikirkan Tae Seok dan Jin Ri. Tiba2, ponselnya berdering. Telepon dari Jaksa Kim. Jaksa Kim memberitahu Hae Gang bahwa sidang pertama akan segera dimulai, tapi dirinya terusik karena tidak bisa mengunjungi pemakaman Presdir Choi.

“Karena banyak orang yang mengawasi, aku yakin Ayah Mertua akan mengerti.” Jawab Hae Gang.

“Pada akhirnya, kau sendirian di ruang sidang sekarang.” ucap Jaksa Kim.

Hae Gang hanya berkata, Ya.

“Sebelum menerima hukumanmu, aku ingin memastikan pikiranmu. Daftar suap sudah selesai untuk selama-lamanya sekarang, oke?” tanya Jaksa Kim.

“Ya. Kau tak perlu khawatir.” Jawab Hae Gang.

“Kau bilang agar dilakukan secara adil hanya dengan memandang kasusnya. Aku berpikir hukumannya sekitar 1 tahun 8 bulan. Siapapun yang mengambilnya, hukumannya akan 1 tahun 6 bulan sampai 2 tahun.” Ucap Jaksa Kim.

“Aku menyadarinya. Tuntutlah hukuman seperti caramu sendiri.” Jawab Hae Gang.

“Bagaimanapun, kau tidak akan dipenjara melainkan dibebaskan dengan masa percobaan, jadi aku tidak merasa terbeban. Jika kau benar-benar tidak beruntung dan memperoleh hakim yang buruk, kau harus siap-siap menghadapi hukuman penjara 3 bulan. Tapi itu hukuman mutlak terburuk.” Ucap Jaksa Kim.


“Jika kau sudah menyampaikan semua yang harus kau sampaikan, maka aku akan sudahi teleponnya sekarang. Kalau begitu, sampai bertemu di sidang kedua.” Jawab Hae Gang.

“Daftar suap, apakah memang hanya diketahui dirimu dan mendiang Presdir ?” tanya Jaksa Kim.

“Tidak.” Jawab Hae Gang.

Jaksa Kim pun panic,  apa maksudmu, tidak? Lalu siapa lagi yang tahu? Kau bercanda sekarang? Ini sebabnya aku menghubungi padahal tidak perlu! Siapa dia? Siapa lagi yang tahu?

“Daftar itu. Aku menerimanya dari Presiden Min Tae Seok.” Jawab Hae Gang.

“Kau bicara soal Presiden Min Tae Seok yang melakukan bunuh diri?” tanya Jaksa Kim.

“Ya.” jawab Hae Gang.

“Sampai bertemu di ruang sidang.” Ucap Jaksa Kim, lalu menutup teleponnya.

Selesai berbicara dengan Jaksa Kim, Hae Gang pun kembali melihat rekaman suara Tae Seok di ponselnya.



Seok yang lagi makan siang bareng Ha Joon, tampak kesulitan memotong lauk dagingnya. Tanpa berkata apapun, Ha Joon pun meletakkan potongan daging miliknya ke sendok Seok. Seok tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih. Tak lama kemudian, ponselnya berdering dan Seok lagi2 kesulitan mengambil ponselnya. Ha Joon dengan sigapnya membantu Seok mengambil ponsel.


“Ada apa? Kau duluan yang menghubungi. Bagaimana perasaanmu? Kalau begitu suasana hatimu? Kau sudah makan siang? Makanlah bersamaku. Aku juga belum makan. Kau ingin makan apa? Apa yang harus kuberikan padamu agar seleramu kembali? Baiklah. Kalau begitu datanglah sekitar jam 4. Aku ada sidang.” Ucap Seok.

Ha Joon pun tampak sebal mendengar Seok berbicara di telepon dengan seseorang.


Jin Eon berdiri menyender ke mejanya sambil memejamkan mata. Hyun Woo hanya bisa diam menatap Jin Eon. Mereka tak hanya berdua di ruangan Jin Eon, tapi juga bersama para dewan direksi. Dewan direksi terlihat kesal. Ya, jelas saja! Karena mereka tidak setuju dengan ide Jin Eon yang mau menggelar konferensi pers untuk mengakui efek samping Pudoxin. Mereka juga tidak setuju Pudoxin ditarik dari pasaran. Mereka lantas mengancam akan menggulingkan Jin Eon jika Jin Eon tak mau mengundurkan diri secara sukarela. Jin Eon pun balik mengancam, kalau ia disingkirkan, ia akan berbuat sesuka hati sampai ia disingkirkan. Dewan direksi murka, bahkan seorang diantara mereka mau menghajar Jin Eon tapi untunglah Hyun Woo mencegahnya.


Hae Gang ke kantor Seok. Tapi Seok tidak ada. Ha Joon mengira Hae Gang datang untuk konsultasi masalah perceraian. Hae Gang pun berkata kalau dia datang untuk menemui Seok. Ha Joon pun langsung tahu kalau Hae Gang adalah seseorang yang menelpon Seok tadi saat mereka makan siang.

“Dia pergi ke pengadilan. Dia akan segera datang. Mengapa tidak duduk dan menunggu?” ucap Ha Joon.

Ha Joon lantas menyajikan teh hijau untuk Hae Gang, sesuai yang diminta Hae Gang.

“Apa kau pacarnya?” tanya Ha Joon.

“Seperti yang kau lihat, aku bukan laki2.” Jawab Hae Gang.

“Rupanya dia menyukai tipe seperti ini.” gumam Ha Joon.


Ha Joon lalu kembali ke mejanya. Hae Gang menoleh, menatap ke meja Ha Joon. Dan ia ingatannya seketika melayang ke masa lalu saat melihat Ha Joon menulis di papan kaca. Tak lama kemudian, Seok datang dan langsung menemui Hae Gang.

“Kau mempekerjakan pengacara wanita. Kukira kau akan mempekerjakan seorang laki-laki?” tanya Hae Gang.


“Dia bukan wanita. Dia ini lelaki, lelaki sejati.” Jawab Seok.

Seok lalu berteriak pada Ha Joon.

“Hei, Ha Joon Seo, silakan pergi untuk hari ini.”

“Mengapa? Pergi untuk hari ini? Aku baru saja sampai di sini. Dan juga, aku Ha Seo Joon.” Protes Ha Joon.

“Ha Seo Joon, pergilah untuk hari ini dan mulai bekerja besok.” Ucap Seok.

“Tidak mau.” jawab Ha Joon.

Seok pun sewot, apa?

“Aku akan ke luar. Panggil aku saat kau menggunakan kamar kecil.” Ucap Ha Joon, lalu beranjak pergi.

Hae Gang terkejut mendengarnya, kemudian tertawa geli. Sementara Seok sewot setengah mati karena Ha Joon nyebut2 kamar kecil di depan Hae Gang.


Hyun Woo yang baru tiba di kantornya Seok, langsung mendengus kesal melihat Ha Joon yang duduk di tangga sambil menyeruput kopi. Hyun Woo pun berniat menegur Ha Joon, tapi saat ia mau menghampiri Ha Joon, Ha Joon malah bangkit dari duduknya dan lari2 di tangga.



Di dalam, Seok dan Hae Gang sedang membahas tuntutan yang akan dihadapi Hae Gang. Seok berkata, asalkan jaksa tidak menuntut Hae Gang lebih dari 2 tahun maka Hae Gang akan menjalani hukuman percobaan.

“Tak peduli hukuman apapun yang kuterima, aku tidak akan banding jadi sebaiknya kau mengerti.” Jawab Hae Gang.

“Kalau begitu, aku harus membela mati-matian agar memastikan kau tidak mendapatkannya.” Ucap Seok.


Hae Gang lalu memberitahu Seok bahwa Tae Seok masih hidup. Seok pun terkejut.

"Aku merekam suara Min Tae Seok yang masih hidup, tadi pagi. Aku melalui pintu kantor polisi tapi keluar kembali.” Ucap Hae Gang.

“Mengapa?” tanya Seok.



“Karena terus memikirkan kakak Jin Eon. Karena terus memikirkan Jin Eon dan Ibu Mertua. Aku akan menjadi bagian dari keluarga itu lagi. Saat sidang kedua selesai, aku akan hidup bersamanya. Kami akan hidup bersama Ibu Mertua di rumah Buamdong dan memulai hidup baru. Ibunya mengidap demensia. Ibu Mertua sangat menyedihkan. Dan dia sangat menyedihkan. Dia tak bisa menangani ibunya sendirian. Dia juga harus bekerja. Ketika aku bicara denganmu di telepon, aku menemukan cincin kawin yang dia berikan padaku. Meskipun ditutupi debu, berkilau.  Karena aku memiliki cincinku, aku tinggal membelikan cincinnya, dan aku akan melamarnya kali ini. Di hari hukuman dijatuhkan, jika aku dibebaskan dengan masa percobaan, tidak dipenjara, aku akan melamarnya. Aku akan coba memulai lagi hidupku dengan begitu.” jawab Hae Gang.

Seok hanya bisa menghela napas dan tersenyum untuk menunjukkan bahwa ia mendukung apapun keputusan Hae Gang, meskipun kesedihan terlihat jelas di wajahnya.


Sementara itu diluar, Ha Joon sedang kayang. Hyun Woo pun berniat menirunya, tapi saat ia mencoba memulai gerakan awal kayang, ia malah jatuh terjerembab.

“Bukankah itu sulit?” tanya Hyun Woo.

Bukannya menjawab, tapi Ha Joon malah menanyakan berapa kali Hyun Woo sanggup menikam seseorang dalam waktu semenit. Hyun Woo merasa bingung dengan pertanyaan Ha Joon. Ha Joon bertanya lagi, 8 kali? Mungkinkah?

“Bangun. Mari berpegangan tangan dan menjalani tes obat.” Ucap Hyun Woo.




Ha Joon pun langsung berdiri, dengan gampangnya. Hyun Woo terkagum2 melihat Ha Joon yang bisa dengan mudah melakukan gerakan itu. Ha Joon kemudian memutar2 lehernya, kemudian merapikan kemejanya lalu duduk di tangga dan menyeruput kopinya. Hyun Woo pun langsung mengomeli Ha Joon.

“Minggir. Mengapa kau menghalangi jalan sambil minum alkohol?” omel Hyun Woo.

“Ini kopi, kok.” Jawab Ha Joon.

“Kau, sudah terungkap di seluruh dunia bahwa kau seorang alkoholik. Kau masih berdusta soal itu? Hei. Kalau itu kopi, maka aku akan ganti jenis kelamin. Jenis kelamin-ku. Dari laki-laki menjadi perempuan.” Ucap Hyun Woo.



Ha Joon pun tersenyum senang. Saat Hyun Woo mau masuk ke dalam, ia merangkul kaki Hyun Woo dan memanggil Hyun Woo dengan panggilan eonni. Hyun Woo bingung. Ha Joon dengan bangganya membuka tutup cangkirnya, dan menunjukkan kalau yang diminumnya itu beneran kopi, bukan alcohol.


"Eonni, ajummaa, atau salmonim?? Kalau tidak, Miss Go? Yang mana?” tanya Ha Joon.

Hyun Woo pun langsung menggerutu…


Hae Gang sudah mau pergi. Bersamaan dengan itu, Hyun Woo masuk ke dalam sambil ngomel2. Hyun Woo pun terkejut melihat Hae Gang. Hae Gang ingin tahu apa yang membuat Hyun Woo mengunjungi Seok. Seok pun berkata kalau Hyun Woo datang untuk membicarakan masalah ganti rugi korban Pudoxin.

“Para eksekutif sedang berada di kantor Jin Eon saat ini, berusaha menyingkirkannya.” Ucap Hyun Woo.

Hae Gang terkejut, apa?

“Mereka mengerubung seperti lebah dan menembakkan sengat lebah (berbicara) bertubi-tubi. Siapa yang membersihkan kotoran yang mereka buang? Mereka tidak tahu malu, ataupun berterimakasih. Mereka hanya dipenuhi keserakahan. Dalam pikiranku, tanpa memikirkan permohonan maaf atau kompensasi, aku ingin menyuruh dia agar mendirikan perusahaan farmasi baru dengan membawa divisi Penelitian dan Pengembangan saja.” Cerocos Hyun Woo.

“Apa yang dia lakukan?” tanya Hae Gang.


“Dia hanya bekerja saja. Para lebah duduk di tempat mereka dapat melihat dirinya. Kupikir akan makan waktu beberapa hari. Meskipun mereka mengambil beberapa milyar won sebagai bonus, mereka memboikot dana, berkata mereka tidak bisa menghabiskan satu sen-pun untuk kompensasi. Saat ini, Jin Eon memberikan kompensasi pada korban dengan uang pribadinya sendiri.” Jawab Hyun Woo.

“Aku punya uang. Akan kuberikan padamu, jadi gunakanlah untuk memberi kompensasi korban.” Ucap Hae Gang.

“Apa? Mengapa dirimu?” tanya Hyun Woo.

“Ini bukan uangku. Ini uang dari penjualan saham yang diberikan ayahnya padaku.” Jawab Hae Gang.

“Kau akan memberikan seluruh uang itu?” tanya Hyun Woo.

“Apakah mereka menerima pengunduran diriku?” tanya Hae Gang.

“Tapi apa yang akan kau lakukan? Kau akan kembali ke sini?” tanya Hyun Woo.

“Aku akan beristirahat dan tidak tergesa-gesa memikirkan tentang apa yang akan kulakukan selanjutnya dan bagaimana aku akan hidup.” jawab Hae Gang.


Malam pun tiba, tapi Jin Eon masih berada di ruangannya, sibuk berkutat dengan dokumennya. Tiba2 saja, ingatan Jin Eon melayang pada kata2 Hae Gang yang ingin menjadi istrinya kembali. Jin Eon pun bimbang. Di satu sisi, ia ingin rujuk kembali dengan Hae Gang tapi di sisi lain ia tak bisa melakukannya atas apa yang sudah terjadi pada mereka.


Tak lama kemudian, Hyun Woo datang dan menunjukkan buku rekeningnya pada Jin Eon. Hyun Woo memberitahu bahwa uang itu adalah uang hasil penjualan sahamnya dan mereka bisa menggunakan uang itu untuk membayar kompensasi pada korban Pudoxin. Jin Eon pun terkejut.



Hae Gang yang bersiap dengan peralatan mengecatnya di rumahnya di Buamdong langsung tersenyum begitu menerima panggilan Jin Eon. Jin Eon bertanya, Hae Gang ada di mana. Tapi Hae Gang bukannya menjawab malah nanya dulu apa yang akan dilakukan Jin Eon setelah mengetahui dirinya ada di mana.

“Aku tidak akan memalingkan kepalaku dari arah itu, kalau begitu.” jawab Jin Eon.

“Kalau begitu aku tidak mau beritahu di mana diriku. Coba cari. Di mana diriku. Karena aku akan menunggu sampai kau datang ke sini. Kau akan datang mencariku?” ucap Hae Gang.

“Asalkan bukan di tempat sauna.” Jawab Jin Eon.

“Apa? Mengapa tiba-tiba tempat sauna? Ada orang yang tidak pernah pergi ke tempat sauna?” tanya Hae Gang.


“Kata siapa aku tak pernah pergi?” jawab Jin Eon.

“Kau sudah pernah pergi? Kapan? Dengan siapa?” tanya Hae Gang.

“Dengan kekasihku. Dan pacar kekasih-ku.” Jawab Jin Eon.

“Apa? Apa sih yang kau bicarakan?” tanya Hae Gang, lalu tertawa mendesis.

“Minuman beras. Kalian berbagi. Sedotan pink dan biru. Sebutir telur. Kau duduk di lantai sauna dan memukulkannya di dahi si Cahaya. Kau begitu bahagia sampai bisa-bisa kau mati. Tertawa ha ha ha ha.” Jawab Jin Eon.

“Kau di sana? Di sauna tempat lingkungan kami?” tanya Hae Gang syok.

“Pergilah bersamaku juga. Dan pecahkan telurnya di dahiku. Ha ha ha ha.” Jawab Jin Eon.

“Mengapa pergi ke sana? Mengapa membuntutiku?” tanya Hae Gang.

“Karena kau kelihatan sangat cantik membawa tas mandi-mu.” jawab Jin Eon.

“Mulai sekarang, saat kita berkencan aku akan membawa tas mandi bukan tas tangan.” Ucap Hae Gang.


Dan Jin Eon pun tertawa.

“Senang mendengarmu tertawa. Cepat datang. Aku rindu padamu. Aku merindukanmu seperti mau gila rasanya, sayang.” Ucap Hae Gang.

“Aku akan cepat ke sana jika tahu tempatmu berada.” Jawab Jin Eon.

“Maaf. Kukira aku tidak begitu gila. Sudah dulu. Carilah diriku, Kekasih.” Ucap Hae Gang, lalu memutuskan teleponnya.


Usai bicara dengan Jin Eon, Hae Gang pun mulai mengecat rumahnya, dimulai dari ruang baca. Ia mengecat, sambil mendengarkan lagu yang selama ini ia dengarkan saat dirinya amnesia. Tak lama kemudian, Jin Eon datang. Mendengar lagu yang dinyanyikan Hae Gang,  membuat ingatannya langsung melayang ke saat2 ia bertemu dengan Hae Gang untuk pertama kalinya di depan kantor Seok saat Hae Gang masih amnesia.


Hae Gang terkejut, tapi kemudian ia tersenyum melihat Jin Eon yang sudah berdiri di belakangnya. Tapi belum sempat mengatakan apapun, Jin Eon langsung mencium bibirnya. Hae Gang pun membalas ciuman Jin Eon.


Sementara itu, Jin Ri tengah mengancam Jaksa Kim akan membeberkan suap yang diterima Jaksa Kim serta memenjaran ayah Jaksa Kim atas kasus Mi Do Farmasi jika Jaksa Kim tidak bisa membuat Hae Gang meringkuk di penjara selama 1 atau 2 tahun.

“Akan sulit mendapatkan lebih dari setahun. Do Hae Gang itu pengacara. Meskipun dipenjara, dia akan keluar dalam waktu kurang dari setahun kalau dia banding.” Jawab Jaksa Kim.

“Itu tidak masalah, jadi pastikan saja Do Hae Gang diborgol, tempatkan mobil kesatuan dan lemparkan ke dalam penjara. Kurung dia selama lebih kurang setahun sehingga tak bisa bebas berkeliaran.” Ucap Jin Ri.

“Pertama-tama, ayo duduk. Mari pelan-pelan mendiskusikannya.” Jawab Jaksa Kim.

Dan, Jin Ri pun tersenyum puas.

0 Comments:

Post a Comment