My Golden Life Ep 33 Part 2

Sebelumnya...


Di toko roti. Ji Soo melamun memikirkan perkataan sang ibu, juga adiknya tentang mereka yang sangat menyayangi Ji An. Ji Soo pun kesal.


Ji Soo pun langsung menoleh ketika Boss Kang tiba-tiba memanggilnya. Boss Kang meminta pendapat Ji Soo soal tulisan yang ditulisnya. Boss Kang menuliskan permintaan maaf pada pelanggan karena toko rotinya tutup beberapa hari kemarin.

“Kau menulis surat.” Ucap Ji Soo lesu.

“Kehidupan keduaku dimulai hari ini. Tapi pegawai magangku tampak sedih. Awal mula kehidupan baruku tidak boleh membuat depresi. Keluarlah. Makan siang dan hirup udara segar.” Jawab Boss Kang.

Boss Kang juga menyuruh Ji Soo menempelkan tulisannya di pintu.


“Matilah, mati saja!” ucap Ji Soo sambil memukulkan palu mainannya ke sasaran. Tiba-tiba, Hyuk datang dan langsung berdiri disamping Ji Soo. Ji Soo yang terlalu asyik dengan mainannya sampai tak menyadari kehadiran Hyuk.

“Kasihan sekali mereka.” Ucap Hyuk.

Ji Soo menoleh dan terkejut melihat Hyuk.

“Hobimu unik sekali.” Ucap Hyuk.

“Aku hanya merasa stres.” Jawab Ji Soo.

“Lantas, ini saja tidak cukup.” Ucap Hyuk.


Hyuk mengajak Ji Soo main tembak-tembakan. Ji Soo tampak serius membidik lawannya. Hyuk pun berhenti menembak dan menatap Ji Soo.

“Bagaimana?” tanya Hyuk.

“Ini menyenangkan.” Jawab Ji Soo.

“Lebih seru lagi jika bertaruh. Pemenangnya harus mengabulkan permintaan yang kalah.” Ucap Hyuk.

Ji Soo pun setuju.


Mereka pun mulai bertanding. Hyuk tertawa melihat keseriusan Ji Soo. Hyuk lalu menyenggol lengan Ji Soo agar Ji Soo kalah. Ji Soo pun membalas Hyuk dengan melakukan hal yang sama. Hyuk juga terus mengajak Ji Soo bicara. Tapi Ji Soo tidak mau diajak bicara agar konsentrasinya tidak pecah.


Mereka akhirnya selesai bermain dan kembali ke mobil. Ji Soo menunjukkan hasil permainannya tadi melalui ponsel dan mengatakan bahwa peringkatnya tinggi.

“Mungkin kau memiliki keturunan pemburu.” Jawab Hyuk tanpa tahu siapa orang tua kandung Ji Soo.

“Kini kau berbicara denganku seperti seorang teman.” Ucap Ji Soo.

“Kita bertaruh, bukan? Keinginanku adalah kita menjadi teman.” Jawab Hyuk.

“Tapi aku yang menang.” Ucap Ji Soo.

“ Pemenangnya harus mengabulkan permintaan orang yang kalah.” Jawab Hyuk..


“Tapi bukankah seharusnya pemenang yang menerima keuntungan?” tanya Ji Soo.

“Tegantung aturan yang kita buat.” Jawab Hyuk.

“Memang benar, tapi...” Ji Soo masih mau protes, tapi Hyuk langsung memotong kalimatnya.

“Kita sudah sama-sama dewasa. Tidak nyaman jika bersikap formal.” Ucap Hyuk.

“Aku tidak pernah terpikirkan itu.” Jawab Ji Soo.

“Kau bisa beradaptasi perlahan.” Ucap Hyuk.

Ji Soo pun tersenyum. Hyuk lantas mulai melajukan mobilnya.


Hyuk dan Ji Soo masuk ke toko roti bersama. Boss Kang pun terheran-heran kenapa mereka bisa datang barengan. Hyuk berkata, kalau ia berpapasan dengan Ji Soo dalam perjalanan ke toko roti.

Aku berpapasan dengan Ji Soo dalam perjalanan kemari.

“Ji Soo? Kau memanggilnya Ji Soo. Ada apa?  Kalian sudah jatuh cinta?” tanya Boss Kang.

“Tidak, bukan begitu. Kami hanya bertaruh dan memutuskan untuk berteman.” Jawab Ji Soo.

“Bertaruh? Kau licik. Astaga.” Ucap Boss Kang sembari bersiap memukuli Hyuk.

“Hei. Aku adiknya Kak Hee.” Balas Hyuk.

“Aku tahu. Kalian seharusnya berteman sejak lama. Saling bicaralah dengan nyaman.” Jawab Boss Kang.

“Aku akan mengukur kamarmu.” Ucap Hyuk.

“Baiklah, Adik Ipar. Ikuti aku.” Jawab Boss Kang.


Setelah Boss Kang masuk, Hyuk mengatakan pada Ji Soo ‘sampai jumpa lagi’ dan Ji Soo pun balas mengatakan hal yang sama. Ji Soo tampak bahagia.


Hyuk kembali ke studio dan minta maaf pada Ji An karena datang terlambat. Hyuk menjelaskan, kalau ia baru saja bermain games bersama temannya yang terlihat sedih.

“Si tukang roti itu?” tanya Ji An.

“Aku banyak berutang kepadanya.” Jawab Hyuk.

“Kau lemah jika menyangkut teman. Tapi tampaknya kau yang lebih bersenang-senang.” Ucap Ji An.

“Aku akan mengajakmu lain kali ke sana.” Jawab Hyuk.

“Berikan saja hasil pengukurannya.” Ucap Ji An.


Ji An melihat Ji Soo keluar dari toko roti. Ji Soo langsung kesal melihat Ji An. Kesal melihat Ji An, Ji Soo memutuskan berpura-pura tidak mengenal Ji An. Ia berniat melewati Ji An, tapi Ji An menegurnya.

“Kenapa kau berbicara denganku? Kau melarangku menghubungimu.” Ucap Ji Soo.

“Kita tidak saling menghubungi. Kita hanya berpapasan.” Jawab Ji An.

Ji An lalu berkata, bahwa ia tidak menyangka keluarga Haesung masih membiarkan Ji Soo bekerja di toko roti.

“Kau pasti sangat waspada saat tinggal di rumahku.” Balas Ji Soo.

“Benar.” Jawab Ji An.


“Tapi tidak begitu denganku. Aku tidak menginginkan apa pun dari mereka seperti dirimu. Jadi, aku bisa tetap percaya diri. Aku tidak menginginkan apa pun dari mereka, jadi, tidak akan rugi apa pun. Aku akan pergi dari sana jika merasa kecewa.” Ucap Ji Soo.

“Baguslah.” Jawab Ji An.

“Apa bagusnya itu? Sudah sewajarnya begitu. Mereka masih memanggilku Ji Soo. Kubilang kepada mereka aku akan hidup sebagai Ji Soo. Itulah sebabnya aku masih bekerja di toko roti.” Ucap Ji Soo.

“Senang mendengarnya.” Jawab Ji An.

“Hubunganku dengan Pak Sunwoo juga berjalan lancar.” Ucap Ji Soo.

“Kabar keluargamu baik-baik saja?” tanya Ji An.

“Kenapa kau bertanya?” tanya Ji Soo balik.

“Aku hanya penasaran tentang kabar mereka. Aku masih merasa bersalah.” Jawab Ji An.

“Ya. Mereka baik-baik saja. Kubilang mereka baik-baik saja.” Ucap Ji Soo.

“Baiklah. Jaga dirimu.” Jawab Ji An, lalu beranjak pergi. Tapi Ji Soo menghentikan langkah Ji An. Ji Soo penasaran, apa yang dilakukan Ji An di sekitar lingkungan toko rotinya.

“Aku bekerja di daerah ini.” Ucap Ji An.


Ji An kembali ke kamarnya. Ia tak habis pikir bagaimana keluarga Haesung bisa baik2 saja setelah mengusir Do Kyung. Ji An lalu teringat cerita Ji Soo tadi tentang Ji Soo yang dibiarkan melakukan apa saja yang Ji Soo suka. Ji An pun merasa keluarga Haesung sangat menyayangi Ji Soo karena mereka membiarkan Ji Soo melakukan apa saja yang Ji Soo sukai, tidak sepertinya yang harus menuruti perintah mereka.


Do Kyung dan Seketaris Yoo bertemu di kafe. Seketaris Yoo berkata, ia mengerti kenapa ponsel Do Kyung tidak aktif. Do Kyung pun meminta flashdisk nya yang berisi data-data yang ia kerjakan saat masih di Haesung. Seketaris Yoo juga mengembalikan uang yang ditinggalkan Do Kyung di rumahnya.

“Kenapa anda meninggalkan itu? Anda tidak punya cukup uang.” Ucap Seketaris Yoo.

“Bagaimana kau mengetahuinya?” tanya Do Kyung.

“Anda hanya meninggalkan 200 dolar. Berarti hanya sebanyak itu yang anda miliki sekarang. Jika anda mendatangi tempatku sebagai Wakil Presdir, anda akan meninggalkan setidaknya 2.000 dolar.” Jawab Seketaris Yoo.

“Kenapa kau tahu banyak tentang diriku?” tanya Do Kyung.


“Sudah lima tahun berlalu. Lima tahun.” Jawab Seketaris Yoo, membuat Do Kyung tersentuh.

Do Kyung tidak mau mengambil uang itu. Do Kyung bilang, uang itu untuk ibunya Seketaris Yoo. Seketaris Yoo pun akhirnya mengambil kembali uang itu.

“Mungkin akan memakan waktu lama bagiku untuk membereskan semuanya. Jadi, kau harus menjalani hidupmu. Kau tidak akan menyukai divisi urusan umum, tapi kau harus menafkahi ibumu.” Ucap Do Kyung.

“Anda mau aku membeli ponsel atas namaku?” tawar Seketaris Yoo.

“Kau tidak boleh melakukan itu. Kau salah satu kolega terdekatku. Mereka akan menghubungi dan menanyakanmu tentang keberadaanku.” Jawab Do Kyung.


“Aku akan bersikap seakan-akan aku tuli dan buta.” Ucap Seketaris Yoo sambil menatap Do Kyung galak.

“Hentikan tatapanmu itu.” Pinta Do Kyung.

“Baiklah.” Jawab Seketaris Yoo, lalu menormalkan pandangannya.

“Lantas, anda harus mengecek ponsel setidaknya sehari sekali. Aku mungkin harus menghubungi anda karena ada urusan mendesak.” Pinta Seketaris Yoo.

“Baiklah. Akan kulakukan.” Jawab Do Kyung.


Ji Ho pergi ke kafenya Sung Hyeok. Ji Ho kagum, kafenya lumayan besar dan pengunjungnya ramai. Ji Ho pun penasaran berapa yang dikeluarkan Sung Hyeok untuk membangun kafe itu.

“Aku tidak tahu jumlah pastinya. Ibuku yang memberi modal. Pasti lebih dari 300.” Jawab Sung Hyeok.

Ji Ho pun kaget, 300 ribu dollar?


Nyonya Yang berkunjung ke rumah Hae Ja dan Seok Doo untuk menanyakan suaminya yang akan pergi melaut. Seok Do bilang, jika Tuan Seo bilang begitu, pasti Tuan Seo akan melakukannya.

“Aku hanya tidak tahu harus bagaimana. Jika dia mau pergi memancing, kenapa mau pindah segala? Begitu menantuku punya bayi, aku harus membesarkan bayinya.” Ucap Nyonya Yang.

“Itulah maksudku. Kenapa sikapmu amat kejam kepada Tae Soo?” jawab Hae Ja.

Hae Ja lalu meminta suaminya menghentikan Tae Soo.

“Bagaimana aku menghentikannya? Atas dasar apa? Jika Tae Soo tidak di sana, aku akan menyewakan rumahnya. Aku akan mendapatkan deposit dan biaya sewa bulanan. Akan membutuhkan waktu sampai rumahnya diperbaiki.” Jawab Seok Doo.


Tuan Seo baru pulang ke rumah larut malam. Nyonya Yang penasaran apa yang dilakukan Tuan Seo sampai selarut itu setiap hari. Tuan Seo beralasan, ada yang harus ia kerjakan.

“Lacimu kosong. Kenapa membuang semua pakaianmu?” tanya Nyonya Yang.

“Aku hanya memilah barang karena kita akan pindah. Aku tidak membutuhkan banyak baju begitu memancing di laut.” Jawab Tuan Seo.

“Kau sungguh mau aku hidup sendiri? Aku membesarkan anak-anakku selama hidupku. Mana bisa aku hidup sendirian?” ucap Nyonya Yang.

“Biarkan anak-anak pergi dan tinggallah sendiri. Hanya itulah yang bisa dilakukan oleh orang tua seperti kita.” Jawab Tuan Seo.

“Aku lebih memilih bercerai.” Ucap Nyonya Yang. Tuan Seo setuju. Nyonya Yang pun kaget.


Do Kyung yang baru pulang terkejut melihat Hyuk masuk ke kamar Ji An.

“Sedang apa dia di kamarnya Ji An pada pukul sebegini? Karena mereka teman?” tanya Do Kyung.


Hyuk ke kamar Ji An untuk mengambil cetak birunya. Ji An memberitahu Hyuk bahwa ia baru saja selesai mendesain furniture untuk rumah Boss Kang.

Di depan pintu kamar Ji An, Do Kyung berdiri dengan tangan memegang jam weker.

“Sudah lebih dari dua menit. Sedang apa dia?” tanyanya.

Agar Hyuk segera keluar dari kamar Ji An, Do Kyung pun sengaja berteriak kalau rumah sebelah mereka kebakaran.


Tapi Hyuk tak kunjung keluar. Do Kyung mencoba menguping. Tepat saat itu, Hyuk keluar dan menunjukkan cetak birunya tepat di mata Do Kyung. Do Kyung pun pura2 kalau ia salah lihat.

“Aku akan tidur di kasur malam ini.” Ucap Hyuk.

“Dengan senang hati.” Jawab Do Kyung.


Setelah Hyuk masuk ke kamar, Yong Gook datang dan meminta Do Kyung membayar uang sewanya. Do Kyung pun memberikan 30 dollarnya sebagai uang sewa, tapi ia harus menyerahkan 10 dollarnya lagi untuk menyewa laptop Yong Gook. Do Kyung juga meminjam ponsel Yong Gook. Do Kyung bilang, hanya sepuluh menit saja.

“Tidak memiliki ponsel menyulitkan.” Ucap Do Kyung.


Ji An yang mendengarnya dari kamar pun terkejut tahu Do Kyung tidak punya ponsel. Ji An bertanya2, apa Do Kyung kehilangan ponsel.

“Kau punya ponsel sendiri. Jangan memakai seenaknya.” Ucap Yong Gook.

“Tunggulah 20 menit. Aku akan mencari pekerjaan sambilan malam.” Jawab Do Kyung.

“Pekerjaan sambilan malam?” kaget Ji An.


Ji An keluar dari kamarnya dan terkejut melihat Do Kyung yang masih terjaga. Ya, Do Kyung duduk di ruang makan dan fokus pada laptopnya. Ji An pun mendekati Do Kyung.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Ji An.

“Mengawasi kalian berdua.” Jawab Do Kyung.

“Kenapa tidak memakai ponselmu?” tanya Ji An.

“Agar lokasiku tidak terlacak. Kirimi aku pesan jika ada masalah. Aku akan memeriksa ponselku sekali sehari.” Jawab Do Kyung.

“Kenapa kau butuh pekerjaan?” tanya Ji An.

“Aku butuh uang.” Jawab Do Kyung.

“Kau sungguh hanya punya 80 dolar?” tanya Ji An.


“Tidak, aku punya 75,90 dolar. Tadinya aku punya 80 dolar, tapi sudah membayar 60 dolar untuk biaya sewa dua hari, 1,5 dolar untuk mi, 10 dolar untuk laptop, dan 2,60 dolar untuk ongkos. Berarti sisa 5,90 dolar. Aku dibayar 70 dolar hari ini, jadi, uangku ada 75,90 dolar. Hitunglah. Jumlahnya 75,90 dolar.” Jawab Do Kyung.

“Kau pasti menikmati peranmu sebagai rakyat jelata.” Ucap Ji An.

“Jika tidak bisa menghindar, nikmati saja.” Jawab Do Kyung.


Ji An terbangun karena mendengar suara ketikan Do Kyung. Ji An pun membuka pintu dan terkejut melihat Do Kyung yang masih duduk di depan laptop. Ji An melirik ke arah jam. Sudah hampir pagi.

“Kenapa dia bergadang semalaman?” tanya Ji An.


Di toko roti, Ji Soo menggoda Boss Kang dengan menyuruh Boss Kang mengantarkan sendiri roti ke kafenya Hee. Boss Kang pun memberitahu Ji Soo kalau ia dan Hee sudah janjian untuk makan siang.

“Berlatihlah mengobrol secara luwes dengan Hyuk. Kenapa kau tidak bisa? Cobalah. Gunakan hidungmu dan bersikap menggemaskan.” Kata Boss Kang.

Boss Kang pun memberi contoh bagaimana cara memanggil Hyuk dan Ji Soo mengikutinya. Haha... suara Ji Soo pas dicontohin Boss Kang unyu banget... Gemes..

“Baiklah. Aku akan berlatih dalam perjalanan.” Jawab Ji Soo.


Ji Soo pergi ke kafe Hee. Di sana, juga ada Ji An yang sedang berdiskusi dengan Hee soal furniture. Ji Soo pun kaget melihat Ji An, begitu pula Ji An. Hee pun memperkenalkan Ji An pada Ji Soo sebagai temannya.

Ji Soo lantas menyerahkan rotinya dan beranjak pergi dengan wajah syok.

“Dia temannya Nona Sunwoo? Mereka saling mengenal? Bagaimana itu bisa terjadi? Mereka bekerja sama? Atau bertemu di universitas?” tanya Ji Soo.


Soo A mengajak Ji Tae ke suatu tempat. Ji Tae penasaran Soo A mau mengajaknya kemana. Soo A pun berhenti melangkah, lalu memberitahu Ji Tae tentang kehamilannya. Ji Tae terkejut.

Mereka lalu pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Soo A.


Tuan Seo terbangun karena alarm ponselnya berbunyi.

Ji Tae masuk ke rumah dengan wajah syok. Ia tidak menyangka atas kehamilan Soo A.


Tak lama kemudian Ji Ho datang. “Dimana ayah?” tanya Ji Ho.

“Dia tidak di rumah. Dia tidur saat siang hari dan pergi sebelum kami pulang. Lalu, dia akan pulang sekitar tengah malam. Dia sangat marah kepada kakak. Ceritanya panjang dan kakak enggan mengatakannya.” Jawab Ji Ho.

Ji Ho lalu berkata ada yang mau ditanyakannya pada Ji Tae.

“Menurut kakak aku bisa mendapatkan pinjaman?” tanya Ji Ho. Ji Tae pun kaget, pinjaman untuk apa?”

“Aku berhenti dari pekerjaanku. Kuliah selama empat tahun akan memakan biaya 100.000 dolar. Aku ingin meminjam setidaknya sebanyak itu.” Jawab Ji Ho.

“Lantas, kau tidak mau kuliah?” tanya Ji Tae.


“Mau. Jika saja kita mampu, aku pasti akan kuliah. Kenapa tidak? Semua orang melakukannya. Tapi aku mengetahui kemampuan otakku. Jadi, aku melakukan hal cerdas dan menyerah.” Jawab Ji Ho.

“Jika begitu, jangan berpikir untuk memulai usaha. Cari pekerjaan lain dan menabunglah.” Ucap Ji Tae.

“Orang tuanya Sung Hyeok akan menyokongnya jika dia gagal, tapi aku akan kehilangan segalanya jika tabunganku habis.” Jawab Ji Ho.

“Ya, kakak harap setidaknya kau bisa hidup tenang. Kakak harus mengurus orang tua kita dan beban itu menghancurkan kakak.” Ucap Ji Tae.

“Kenapa itu menjadi beban kakak saja? Ada aku dan Kak Ji An.” Jawab Ji Ho. Tapi tak lama, Ji Ho membenarkan ucapan kakaknya.

“Siapa tahu saja? Jika Ayah sungguh pergi melaut, dia mungkin tidak akan kembali.” Cemas Ji Tae.

“Dia tidak akan pergi ke mana pun. Kakak mengenal Ayah. Dari yang kudengar, Ayah hanya kecewa.” Jawab Ji Ho.

“Kau akan ikut makan malam? Bicaralah dengan Ayah saat dia sudah pulang.” Ucap Ji Tae.

“Tapi ada pekerjaan paruh waktu yang baru mulai pukul 22.00.” jawab Ji Ho.


Mereka lalu naik ke lantai atas. Tanpa mereka sadari, Tuan Seo sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka. Setelah mereka naik ke atas, barulah Tuan Seo keluar dari kamarnya dan buru2 pergi.


Tuan Seo dan Seok Doo bertemu di kafe tenda. Seok Doo berusaha membujuk Tuan Seo agar membatalkan niatnya melaut, tapi tekad Tuan Seo sudah bulat. Seok Doo lalu teringat tentang Tuan Seo yang sering sakit perut. Seok Doo pun berharap Tuan Seo tidak mengidap kanker sama seperti dirinya dulu.

Seok Doo pun menyuruh Tuan Seo melakukan medical check up ke rumah sakit sebelum pergi melaut.


Soo A yang baru masuk kamarnya, merasa mual mencium wangi makanan Tionghoa. Soo A dan Ji Tae lalu membahas soal aborsi. Ya, mereka berencana menggugurkan kandungan Soo A.


Tuan Seo menyusuri jalanan sambil memikirkan kata2 Seok Doo tentang kemungkinan Tuan Seo mengidap kanker. Langkah Tuan Seo kemudian terhenti. Ia teringat beberapa bulan ini, ia sering merasakan sakit di perutnya sampai jatuh pingsan. Ia juga ingat saat dirinya muntah darah.

Tiba2 saja, Tuan Seo tertawa sendiri. Ia tertawa pahit.

0 Comments:

Post a Comment