My Golden Life Ep 38 Part 2

Sebelumnya...


Tuan Seo mulai menjalani pemeriksaan.


Diluar, Nyonya Yang dan Ji An menunggu hasilnya dengan cemas.

“Ini salah ibu. Ini semua salah ibu. Dia memutuskan menjadi pelaut karena ibu, bahkan dalam kondisi seperti itu.” Ucap Nyonya Yang.


Tak lama kemudian, Ji Ho datang dan langsung menanyakan kondisi sang ayah.

“Sedang dites. Hampir selesai.” Jawab Ji An.

“Sesakit apa dia sampai kolaps di jalan?” tanya Ji Ho.

“Dia kolaps di depan rumah kita. Tetangga kita menelepon 119. Tapi dia sudah membawa koper, bahkan gitarnya.” Jawab Ji An.

“Koper? Dia sudah mau pergi bergabung dengan para kru?” tanya Ji Ho.

“Dia bahkan muntah darah di ambulans. Aku tidak mengerti. Bukankah dia bilang dia hanya radang lambung?” ucap Ji An.
 
“Tapi kenapa gejalanya seperti yang dialami Nenek dan Paman Seok Doo?” tanya Ji Ho.

“Mungkinkah dia menyembunyikan sesuatu dari kita?” ucap Ji An.

“Dia tidak bisa begitu. Ibu harap tidak.” Jawab Nyonya Yang.


“Dia pasti sudah amat ingin meninggalkan rumah. Omong-omong, dia tidak punya asuransi, bukan?” tanya Ji Ho.

“Tidak. Kami membatalkan semuanya setelah bangkrut. Dia hanya menyisakan satu untuk ibu.” Jawab Nyonya Yang.

“Mungkin dia menyembunyikannya dari kira karena biaya pengobatannya? Dia bilang kepadaku saat itu bahwa dia tidak mau membebani kita dengan biaya pengobatannya.” Ucap Ji Ho.

Nyonya Yang dan Ji An pun makin cemas. Ji Ho takut ayahnya benar2 mengidap kanker.


Tak lama kemudian, Tuan Seo selesai menjalani pemeriksaan. Mereka pun langsung mendekati Tuan Seo yang duduk di kursi roda.


Ji Ho merapikan kasur ayahnya. Tapi Tuan Seo mau pulan. Nyonya Yang, Ji An dan Ji Ho gagal membujuk Tuan Seo untuk tinggal di rumah sakit.


Sesampainya di rumah, Tuan Seo menyuruh istri dan anak-anaknya pergi. Ji Ho pun berkata, mereka tidak bisa pergi begitu saja disaat kondisi sang ayah tidak sehat. Ji An lalu menanyakan koper ayahnya. Tuan Seo bilang, latihannya dimajukan jadi ia harus pergi lebih awal.

“Ayah kurang asupan. Ayah tidak bisa memancing di laut dengan kondisi begitu. Ayah bahkan kolaps di jalan.” Ucap Ji An.

“Kudengar kau bahkan muntah darah.” Ucap Nyonya Yang.


Ji Tae pulang dan langsung ikut bicara. Ia memberitahu mereka kalau sang ayah tidak akan pergi melaut. Ia mengaku, sudah menghubungi semua kapal ikan di Busan dan nama Tuan Seo tidak ada di daftar mereka.

“Jika ayah tidak melaut,  ayah berencana pergi ke mana?” tanya Ji An.

“Ayah hanya ingin sendiri untuk sementara waktu.” Jawab Tuan Seo.

“Sendiri? Di mana?” tanya Nyonya Yang.

“Tidak penting. Aku mau bepergian.” Jawab Tuan Seo.

“Kenapa bilang kepada kami ayah akan pergi memancing?” tanya Ji Ho.

“Agar kalian tidak bertanya ayah akan pergi ke mana.” Jawab Tuan Seo.

“Lantas, bagaimana dengan pemeriksaan medis? Ayah bahkan tidak menjalaninya, bukan? Kenapa bilang kepada kami ayah menjalaninya?” tanya Ji Tae.

“Apakah karena Ayah tahu kondisi kesehatan ayah?” tebak Ji An.

“Yeobo, jawab kami. Kenapa kau berbohong kepada kami?” tanya Nyonya Yang.

“Karena aku tidak mau dirawat. Apa pun hasilnya, aku tidak mau dirawat. Aku tidak peduli itu stadium satu, dua, atau tiga.” Jawab Tuan Seo.

“Lantas, kau sudah tahu soal ini?” tanya Nyonya Yang.


“Ayah, apa artinya ini? Kenapa Ayah tidak mau dirawat? Ayah mau meninggal seperti ini?” tanya Ji Ho.

“Apa salahnya?” jawab Tuan Seo.

Ji Tae dan Ji Ho pun marah, Appa/Abeoji!


“Ini kali pertama ayah. Ini kali pertama ayah hidup sesuai keinginan ayah. Selama 63 tahun, ayah tidak pernah hidup sesuai keinginan ayah. Tidak sehari pun. Jadi, ayah akan mati sesuai keinginan ayah.” Jawab Tuan Seo.

“Itu konyol. Bagaimana bisa ayah berkata begitu? Bagaimana dengan kami? Ayah tidak peduli dengan kami?” tanya Ji An dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Ya, ayah tidak peduli. Ayah senang sekarat. Untuk apa ayah dirawat jika hidup sekarat? Ayah tidak bisa memilih cara menjalani hidup ayah, tapi ayah akan memilih cara mati.” Jawab Tuan Seo.


“Kau akan mati sendiri? Itukah alasanmu pergi sendiri seperti itu?” tanya Nyonya Yang yang juga sudah mulai menangis.

“Sudah kubilang. Aku akan menjalani hidupku sendiri mulai sekarang.” Jawab Tuan Seo.

“Ayah, bagaimana bisa berkata begitu? Kenapa ayah hanya memikirkan diri sendiri?” tanya Ji Tae.

“Dia benar. Kau tidak memikirkan anak-anakmu?” tanya Nyonya Yang.


“Apa salahnya tidak memikirkan mereka? Kenapa aku tidak boleh hanya memikirkan diriku sendiri? Aku sudah menjalani seluruh hidupku untuk keluargaku. Entah bagus atau tidak, aku hidup untuk keluargaku. Sekarang aku mau menjalani hidupku sesuai keinginanku. Kenapa kalian menyalahkanku? Apa aku merugikan kalian? Apa aku merepotkan kalian?” tanya Tuan Seo.

“Ayah mau kami hanya menyaksikan ayah meninggal seperti itu?” tanya Ji An.

“Itu hanya akan menyakiti hati anak-anak.” Ucap Nyonya Yang.

“Ayah terlalu egois.” Ucap Ji Ho.

“Ayah tidak peduli. Walaupun kalian menyesalinya dan merasa bersalah setelah ayah meninggal, ayah tidak peduli. Itu bukan urusan ayah.” Jawab Tuan Seo.

“Yeobo.” Ucap Nyonya Yang.

“Itu karena ayah mau menghentikan semuanya sekarang. Ayah mau berhenti. Kematian itu bukanlah masalah jika ayah tidak punya alasan untuk hidup. Ayah bukan bunuh diri. Tuhan yang memanggil ayah. Sesederhana itu saja bagi ayah. Ayah mau istirahat. Ayah mau istirahat sekarang. Kalian akan menjalani hidup masing-masing. Itu yang dilakukan anak-anak.” Jawab Tuan Seo.


Ji An pun seketika teringat saat ia mencoba bunuh diri dengan meminum banyak obat di dalam hutan.


“Kini ayah mau berhenti dari segalanya.” Ucap Tuan Seo, lalu masuk ke kamar.

Nyonya Yang, Ji Tae, Ji An dan Ji Ho terdiam. Mereka sedih dan tidak tahu harus melakukan apa.


Nyonya Yang dibawa anak-anaknya ke kamar Ji An. Nyonya Yang nampak terpukul dengan semua itu. Ji Tae ingin tahu hasil pemeriksaan ayah. Ji An bilang, ayah kemungkinan mengidap kanker perut karena ada riwayat kanker di keluarga ayah.

“Dia tidak seperti itu dahulu. Dia hanya memedulikan keluarganya. Tapi sekarang dia mau mati sendiri?” ucap Nyonya Yang.


“Ji An-ah, apa itu sungguh maksud ayah? Dia sungguh ingin mati sendiri?” tanya Ji Tae.

“Ayah tahu, tapi membohongi kita semua, bukan? Dia bahkan menyerahkan wasiat kepadaku saat itu. Itu wasiatnya.” Jawab Ji Ho.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Ji An.

“Kita sudah melihatnya sejauh ini. Dia pasti amat menderita sendirian.” Ucap Ji Ho.

“Nenek dioperasi saat stadium tiga, bukan?” tanya Ji Tae.


“Kenapa kalian semua mengira dia mengidap kanker perut? Kita belum tahu.” Ucap Ji Ho.

“Sekarang, sebaiknya kita menunggu hasilnya keluar besok. Kita juga harus membujuknya agar mau dirawat.” Ucap Ji An.

“Apa dia melakukan ini karena uang? Karena biaya pengobatan?” tanya Ji Ho.

Ji Ho pun kesal, lalu pergi duluan.


“Soo A belum tahu soal ini, bukan? Jangan beritahu sampai dia kembali. Dia nanti hanya akan depresi.” Ucap Ji An.

“Apa yang harus kita lakukan dengan Ji Soo?” tanya Ji Tae.

“Jangan memberitahunya sampai hasilnya keluar.” Jawab Ji An.


Ji Soo sendiri lagi berbunga-bunga. Ia bersama Hyuk serta Hee dan Boss Kang berkumpul di kafe.

“Kini kalian berkencan?” tanya Hee.

“Ya, ini hari pertama mereka.” Ucap Boss Kang.

“Hyuk-ah, apa yang terjadi?” tanya Hee.

“Aku yang mengajaknya berkencan.” Jawab Hyuk.

“Apa? Aku yang lebih dahulu.” Ucap Ji Soo.

“Kau mau melakukannya, tapi aku menghentikanmu. Artinya aku yang mengajak dahulu.” Jawab Hyuk.

“Kau tidak tahu dia amat romantis dan tangguh, bukan?” ucap Boss Kang pada Hee.

“Kuharap kita juga akrab.” Ucap Ji Soo pada Hee.

“Aku mau mengatakan hal yang sama.” Balas Hee.


“Aku sudah berusaha dengan tekun untuk menjadikan mereka pasangan. Ya. Aku mengirim kalian berdua ke Incheon, bukan? Aku bahkan menyuruh Hyuk membelikannya makan siang. Yang terpenting, aku memberitahunya semua mantan Hyuk.” Ucap Boss Kang.

“Kak, dia banyak bicara juga. Dia menyebarkan rumor tidak berdasar dan spekulatif.” Jawab Boss Kang.

“Hei, itu tidak benar. Dia tidak akan bilang apa pun yang tidak berdasar. Itu Nam Goo-ku.” Ucap Hee, lalu memeluk Boss Kang.

“Astaga, itu istriku.” Jawab Boss Kang, lalu membalas pelukan Hee.

“Dia benar.” Ucap Ji Soo.


“Astaga, itu pacarku.” Jawab Hyuk, lalu merangkul Ji Soo.

Dalam perjalanan menuju rumah, Ji Soo senyum2 sendiri saking bahagia.


Dan tiba2, cekrek! Seseorang memfoto Ji Soo diam2.


Di lantai atas, Seohyun sedang menikmati musik klasik. Tapi kemudian, ia mendesah dan mematikan musiknya.

“Aku butuh sesuatu yang bertempo cepat.” Ucap Seohyun.

Seohyun lalu mengecek ponselnya dan bertanya-tanya apa Ji Ho sibuk. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Telepon dari Ji Ho yang menyuruhnya datang.Mendengar suara berisik, Seohyun pun sadar Ji Ho lagi di klub.

Seohyun menyusul Ji Ho ke klub dan terkejut mendapati Ji Ho yang sudah mabuk dan menari di atas meja.

“Hei, apa yang kau lakukan? Kau kemari untuk minum, bukannya bekerja?” tanya Seohyun.


Tapi Ji Ho tidak mendengarnya. Seohyun kesal dan memukul kaki Ji Ho. Ji Ho pun menoleh. Ia berputar sambil berpegangan pada tiang di meja, lalu menyapa Seohyun.

“Hai, Cinderella. Kenapa kau kemari?” tanya Ji Ho.

“Kau meneleponku.” Jawab Seohyun.

“Sungguh? Cinderella harus pulang di tengah malam. Aku tidak mungkin meneleponmu.” Ucap Ji Ho.

“Kau minum sebanyak apa? Kau tidak apa-apa?” tanya Seohyun.

“Lihat aku. Lihat? No pro... blem.” Jawab Ji Ho sambil berusaha berdiri tegak.


Ji Ho lalu minum lagi, tapi tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan dia mau muntah. Seohyun pun langsung membekap mulut Ji Ho.

“Jangan di sini. Telan.” Ucap Seohyun, lalu membawa Ji Ho keluar.


Sampai diluar, Seohyun memberi Ji Ho obat.

“Cinderella memberiku racun.” Ucap Ji Ho.

“Berhentilah bicara omong kosong dan minumlah.” Suruh Seohyun.

Seohyun lalu menyuruh Ji Ho menceritakan masalahnya.

“Ini soal franchise mu?” tanya Seohyun.


“Ya, ini soal franchise ku. Aku harus segera menuntaskannya. Aku harus punya bisnis dan menghasilkan banyak uang. Aku akan mencari uang sekarang. Tapi bagaimana jika ayahku meninggal sebelum itu?” ucap Ji Ho.

“Dia sakit?” tanya Seohyun. Ji Ho pun menangis.

“Tunggu dan lihat saja. Aku akan menjadi amat kaya. Orang tuaku tidak akan perlu mengkhawatirkan biaya pengobatan.” Ucap Ji Ho lagi.


Ji Ho lalu berdiri dengan terhuyung.

“Tunggu saja! CEO Seo Ji Ho datang!” teriak Ji Ho.


Ji Ho lantas beranjak pergi, tapi kemudian terjatuh. Seohyun kaget.


Seohyun mengantarkan Ji Ho ke kos2an. Ji Ho masih saja meracau. Seohyun lantas melihat sekeliling kamar Ji Ho dan merasa tempatnya menarik. Seohyun lalu iseng, dia mengetuk dindingnya. Penghuni kamar sebelah pun langsung teriak kalau mereka tidak sendirian di tempat itu. Seohyun ketakutan dan langsung kabur.


Tuan Choi pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat. Nyonya No terkejut. Supir Park lalu memapah Tuan Choi ke kamar.

“Mandilah.” Suruh Nyonya No.

“Aku tidak mau.” Jawab Tuan Choi.

“Kau tidak bisa melakukan ini di sekitar pembantu.” Ucap Nyonya No.

“Hei, No Myung Hee. Kenapa kita menikah?” tanya Tuan Choi.

“Mandi sajalah.” Suruh Nyonya No.

“Kenapa kau menikahiku? Apa aku menikah untuk menjadi wakil pimpinan? Bukan itu. Aku menikah untuk menjadi pimpinan. Benar, bukan? Tapi dia sudah terlalu lama mengujiku. Pimpinan No Yang Ho. Ayahmu. Dia sudah mengujiku selama bertahun-tahun. Seumur hidupku. Aku muak.” Ucap Tuan Choi.

Nyonya No pun kehabisan kata-kata untuk membalas Tuan Choi.


Hyuk yang baru pulang melihat Do Kyung yang sedang bekerja di ruang tamu. Hyuk lantas teringat pesan Ji An dan memberitahu Do Kyung.

“Ji An di rumahnya malam ini.” Ucap Hyuk.

“Aku tidak bertanya.” Jawab Do Kyung.

Hyuk lalu ke kamar mandi dan Nona Yang turun dari lantai dua.


“Kau cukup bermuka dua. Kau dan Ji An saling masuk ke kamar di malam hari.” Ucap Nona Yang.

“Apa maksudmu?” tanya Do Kyung bingung.

“Kau berpura-pura tidak paham di hadapan seorang saksi? Kau tidak boleh melakukan itu di sini. Itu kartu kuning. Sekali lagi kartu merah. Jika melakukannya lagi, kau mendapat kartu merah.” Jawab Nona Yang lalu pergi.


Do Kyung jelas bingung, tapi kemudian ia ingat saat Ji An merawatnya malam itu. Barulah Do Kyung sadar, itu bukan mimpi.


Di kamarnya, Ji An mengingat semua perkataan buruknya pada sang ayah. Ji An pun menyesal, abeoji...


Ji Tae pun juga tak kalah sedihnya. Ia juga menyesali perkataan buruknya terhadap sang ayah.


Ji Tae lalu membuka hadiah yang diberikan ayahnya untuk Soo A. Ada dua kotak disana. Kotak pertama, isinya sebuah kalung. Kotak kedua isinya gelang bayi.

Ji Tae terhenyak, bagaimana ayah tahu?


Ji Tae lantas membaca surat ayahnya.

“Soo A-ya, pikiran ayah terganggu karena tidak membelikanmu perhiasan apa pun saat kalian menikah. Maaf memberikan ini seiring kepergian ayah. Lalu ada kalanya dalam hidup saat kau akan terjatuh. Hal yang menghentikanmu terjatuh sepenuhnya mungkin anak-anakmu. Jika kau diberkati dengan anak seperti itu, berikan dia ini.”


Pecahlah tangis Ji Tae.


Nyonya Yang yang tak bisa tidur, mengajak suaminya bicara. Tapi suaminya menolak. Tapi Nyonya Yang tak peduli dan tetap bicara. Nyonya Yang meminta maaf karena sudah menukar Ji An dan Ji Soo, serta menerima restoran Haesung sebagai gantinya.

“Aku paham perasaanmu, jadi, bisakah kau membantuku?” pinta Tuan Seo.

“Apa?” tanya Nyonya Yang.

“Jangan bebani anak-anak.” Jawab Tuan Seo.

“Bisakah kau berhenti berkata seperti itu? Kau menakutiku. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku tidak bisa hidup sendiri.” Ucap Nyonya Yang.
“Belakangan ini, anak-anak muda nyaris tidak bisa membesarkan anak tanpa bantuan orang tua mereka. Kau amat mampu bekerja, jadi, bergantung kepada anak-anakmu tidaklah benar.” Jawab Tuan Seo.


Tuan Seo lalu bangun dan menatap istrinya.

“Semua orang mati pada waktunya. Maaf aku tidak bisa menepati janji akan menjagamu, tapi pasangan bergantung pada rasa percaya. Bukan hanya hidup bersama. Aku sudah mengurus segalanya. Aku siap pergi. Aku mau pergi hidup sendiri. Kau nanti akan dihubungi pada saatnya. Tidak perlu mengkhawatirkanku.” Ucap Tuan Seo.

Tuan Seo lalu tidur kembali.


Nyonya Yang pergi ke kamar mandi. Dia menangis disana.

Esok harinya, pagi2 sekali Tuan Seo pergi meninggalkan rumah. Dia meninggalkan pesan di meja.

“Aku pergi untuk hidup sendirian. Kau akan mendapatkan telepon jika saatnya tiba. Jangan khawatir.”


Paniklah Nyonya Yang, Ji An dan Ji Tae. Ji Tae menyesal karena ia tidak tidur bersama sang ayah tadi malam. Ji An berusaha menghubungi ayah, tapi ponsel sang ayah tidak aktif.

Tuan Seo pergi ke rumah lamanya.


Di bus, dalam perjalanan ke rumah kos, Ji An menangis.


Sampai di rumah kos, dia langsung dihampiri Do Kyung.

“Seo Ji An. Kau ke kamarku dua hari lalu? Apa kau merawatku?” tanya Do Kyung.

“Aku membawakanmu obat karena kukira kau membutuhkannya.” Jawab Ji An.

“Apa kau pergi seperti itu saja? Kau membasuhku dengan kain basah.” Ucap Do Kyung.

“Demammu tinggi.” Jawab Ji An.

“Apa pedulimu? Kau seharusnya tidak peduli aku demam atau mati karena demam itu.” Ucap Do Kyung.

“Aku melakukannya sebagai rekan serumah. Jika orang lain sakit seperti itu, aku sudah melakukan hal yang sama.” Jawab Ji An.

“Kau lupa?  Aku benci jika ada orang yang masuk ruang pribadiku.” Ucap Do Kyung.

“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Ji An.

“Siapa bilang aku akan pulang jika mengakhiri hubungan denganmu? Sudah kubilang. Kemandirianku bukan hanya soal dirimu. Aku tidak akan pulang sampai bisa mandiri. Seo Ji An, sekarang ini bukan tentangmu.” Jawab Do Kyung, lalu beranjak pergi.


Sampai di luar, Do Kyung heran kenapa Ji An tampak kacau.

“Tampaknya dia menangis.” Ucap Do Kyung.


Di kantornya, Ji Tae menelpon ibunya. Sang ibu bilang, ia belum bisa menemukan keberadaan ayah. Ji Tae lalu mengajak ibu bertemu di rumah sakit.


Di rumah lamanya, Tuan Seo yang sedang makan tiba2 saja merasakan sakit lagi di perutnya. Ia pun bergegas minum obat sakit perut.


Di rumah sakit, Nyonya Yang, Ji Tae, Ji An dan Ji Ho menunggu hasil pemeriksaan dengan cemas.

“Bagaimana hasilnya?” tanya Ji Tae.

“Seo Tae Soo tidak mengidap kanker perut.” Jawab dokter.


“Bukan kanker?” tanya Nyonya Yang.

“Bukan. Hasil biopsinya negatif.” Jawab dokter.

“Lantas, bagaimana kau menjelaskan muntah-muntah, sakit perut, dan darahnya?” tanya Ji Tae.

“Ada penyakit yang kami sebut hipokondriasis. Orang-orang yang terlalu khawatir mereka mengidap kanker terkadang menunjukkan gejala yang sama persis. Tapi dalam kasusnya, itu berbeda. Itu kanker imajinasi.” Ucap dokter.

“Kanker imajinasi?” tanya Ji An.


Terkejut lah mereka semua.

0 Comments:

Post a Comment