I Have a Lover Ep 49 Part 1

Sebelummnya...


Jin Eon sedang mengobati luka Hae Gang. Hae Gang tersenyum dan mengelus2 kepala Jin Eon. Jin Eon meminta Hae Gang berhenti mengelus kepalanya, tapi Hae Gang tidak mau berhenti dan terus mengelus kepala Jin Eon, membuat Jin Eon kesal dan menatap Hae Gang.

“Bukankah kau terlalu baik pada wanita yang tidak kau kenal? Aku tidak suka lelaki yang terlalu baik pada sembarang perempuan. Menurutku lelaki yang terlalu baik pada perempuan yang tak dapat diingatnya, agak berbahaya. Aku tidak akan membuat kepalamu sakit. Aku tak akan membuat kepalamu mendidih. Aku akan melekat erat padamu hingga kau bisa berbuat sesukamu. Akan kuserahkan seluruh diriku padamu.” Ucap Hae Gang.

Tapi Jin Eon diam saja, ia hanya menatap Hae Gang haru.

“Hmm, yeobo? Ya, Choi Jin Eon. Choi Jin Eon!” panggil Hae Gang.

“Aku akan tidur bersamamu malam ini.” ucap Jin Eon.


Hae Gang tersenyum, kemudian berkata mereka akan tidur bersama besok. Jin Eon pun kesal dan berkata kalau dia tidak akan tidur dengan Hae Gang, apapun yang terjadi ia tak akan pernah mau tidur dengan Hae Gang.

“Aku akan tidur denganmu besok.” Ucap Hae Gang.

“Siapa bilang?” tanya Jin Eon.

“Aku.” jawab Hae Gang, membuat Jin Eon makin sewot.

“Aku harus pergi ke panti asuhan. Aku berjanji pada seorang anak akan tidur bersamanya nanti malam. Hanya hari ini saja, mengalahlah padanya. Dia sedang sakit.” Ucap Hae Gang.

“Aku juga sedang sakit.” Jawab Jin Eon.

Anak itu menungguku.” Ucap Hae Gang.


“Aku telah menunggumu lebih lama.” Jawab Jin Eon.

“Itu sebabnya kau bisa menunggu sehari lagi saja.” Ucap Hae Gang.

“Itu sebabnya aku tak bisa menunggu sehari lagi. Aku tak mau menunggumu lagi. Tak bisakah kau mengalah padaku sekali saja? Mintalah pada sang anak agar menunggu.” Jawab Jin Eon.

“Kau akan melakukan hal ini?” tanya Hae Gang.

“Bagaimana denganmu?” tanya Jin Eon balik. Dan itu membuat Hae Gang sebal.

“Bagaimana bisa seseorang tidak menjengukku lebih dari setahun?” tanya Hae Gang.

“Kau tidak datang selama 2 tahun 2 bulan.” Jawab Jin Eon.

“Kau sungguh jahat.” Ucap Hae Gang.


“Kau yang membuatku begini. Kau membuatku menyedihkan, jahat dan kekanak-kanakan.” Jawab Jin Eon.

“Kalau begitu, ayo pergi bersama-sama.” Ajak Hae Gang.

“Jadi sudah pasti kau pergi. Kau bahkan tidak berpura-pura memikirkannya, tidak mempedulikanku dan pergi begitu saja.” Jawab Jin Eon.

“Ayolah kita bertemu besok. Oke? Besok, ayo bersama seharian. Aku akan menghubungimu saat meninggalkan panti asuhan.” Ucap Hae Gang.

“Tidak perlu. Aku tidak mau menemuimu. Jangan hubungi.” Jawab Jin Eon, lalu beranjak pergi.


Jin Eon balik ke rumahnya dengan wajah kesal. Sementara di panti, Hae Gang berusaha menghubungi Jin Eon, tapi Jin Eon malah mematikan ponselnya. Hae Gang pun kecewa. Ha Na yang sudah tidur pun terbangun mendengar suara Hae Gang.

“Kau benar-benar datang?” tanya Ha Na.

“Tentu saja aku datang. Aku sudah berjanji denganmu.” Jawab Hae Gang, lalu menunjukkan gelangnya.


Hae Gang lalu memberitahu Ha Na bahwa ibu Ha Na akan datang menjemput Ha Na. Ha Na tersenyum senang. Hae Gang pun berterima kasih karena Ha Na sudah mau menunggu kedatangan sang ibu. Hae Gang lalu berniat membacakan dongeng untuk Ha Na. Ha Na berseru senang, lalu beranjak mengambil buku dongengnya.


Jin Eon tak bisa tidur karena masih kesal pada Hae Gang. Hae Gang sendiri tengah membacakan dongeng putri duyung pada Ha Na. Tak lama kemudian, Ha Na jatuh tertidur. Hae Gang memeluk erat Ha Na dan wajahnya seketika berubah sedih.

“Ibu akan selalu berada di sisi tuan putri. Juga, tidurlah yang nyenyak, bidadariku.” Ucapnya, ingat pada Eun Sol.



Jin Ri panic karena demam Tae Seok tak kunjung turun. Jin Ri lantas memaksa Tae Seok menelan pil untuk menurunkan demam Tae Seok. Jin Ri juga memaksa Tae Seok minum banyak air, agar Tae Seok tidak dehidrasi.

“Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan sekarang? Mandi es. Aku tak boleh menambah pakaian lagi. Aku harus melepas pakaianmu. Ayo lepaskan ini.” ucap Jin Ri, kemudian melepaskan pakaian Tae Seok.

“Dingin. Aku kedinginan.” Jawab Tae Seok.

“Meskipun dingin, tahan. Kalau demam-mu tidak turun-turun, kau akan mati. Kau akan mati seperti ini.” ucap Jin Ri.


“Kalau aku mati seperti ini, tidak akan begitu buruk. Sangat nyaman dan hangat. Aku tak ingin bangun. Aku tak pernah ingin pergi keluar lagi. Aku ingin mati di rumah. Aku tak suka di luar, aku tidak suka apapun. Aku hanya ingin tinggal...” jawab Tae Seok.

“Jangan bicara yang tidak-tidak. Siapa yang akan mati? Kau pikir aku akan membiarkanmu mati? Pikirkan kesembuhan sebelum keluarga kita tahu. Kalau ketahuan, habislah sudah. Kau tak bisa kabur dengan tubuh ini. Kau akan langsung ditahan.” Ucap Jin Ri.

“Aku lelah melarikan diri. Sebelum keluarga kita tahu, tetap seperti ini... Mati saja mungkin lebih baik.” Jawab Tae Seok.

“Tetap di sini. Akan kubawakan es.” Ucap Jin Ri.


Namun sialnya, saat mengambil es di dapur, ia kepergok Nyonya Hong. Jin Ri pun mengaku akan memakan es itu karena dia merasa gerah. Nyonya Hong tak setuju, ia menyuruh Jin Ri minum jus dingin saja, makan es sebanyak itu bisa merusak gigi Jin Ri. Tapi Jin Ri tak peduli. Saat mau naik ke atas, ia tak sengaja menabrak Jin Eon. Es nya pun berjatuhan. Jin Eon membantu Jin Ri memungut es itu. Nyonya Hong pun bingung melihatnya.

Jin Eon lantas memeriksa suhu tubuh Jin Ri dengan meletakkan tangannya di kening Jin Ri, dan ia heran karena Jin Ri tidak demam. Jin Ri pun melarang Jin Eon dan yang lain masuk ke kamarnya. Ia berkata, bisa mengurus dirinya sendiri.


Setibanya di kamar, Jin Ri langsung meletakkan es itu di badan Tae Seok. Tae Seok berkata, kalau ia mengantuk.

“Jika kau pergi ke rumah sakit, mungkin mereka akan langsung menangkapmu, kan?” tanya Jin Ri. Dan Tae Seok mengangguk lemah.

“Pasti inilah sebabnya mereka berkata kau tak boleh hidup berbuat dosa. Bagaimana ini? Apakah kubiarkan kau mati seperti ini atau apakah kuantarkan kau ke penjara?” ucap Jin Ri.


Tak lama kemudian, terdengar suara Nyonya Hong yang menyuruh Jin Ri membuka pintu. Jin Ri pun berkata, kalau ia mau tidur jadi ia tak ingin diganggu. Nyonya Hong menyuruh Jin Ri makan bubur abalone nya dulu sebelum tidur. Jin Ri pun berkata akan memakannya nanti.

“Jin Eon, ambilkan kunci.” Suruh Nyonya Hong.


Jin Ri pun tak punya pilihan lain selain memindahkan Tae Seok kamar mandi. Usai memindahkan Tae Seok ke kamar mandi, Jin Ri menyembunyikan jaket Tae Seok, kemudian melompat ke tempat tidur dan mengemut es nya. Tepat saat itu, Nyonya Hong dan Jin Eon masuk. Mereka terkejut melihat Jin Ri mengunyah es.

“Kapan kau mulai mencemaskanku? Aku baik-baik saja. Aku sehat-sehat saja. Tak ada yang tidak beres. Tak ada yang salah denganku.” Ucap Jin Ri.

“Berhentilah mengunyah es dan ayo makan buburnya.” Jawab Nyonya Hong.

“Tinggalkan di sana dan pergilah.” Ucap Jin Ri.

“Aku akan mengawasimu makan. Aku akan pergi setelah melihatmu makan.” Jawab Nyonya Hong.


Sementara Jin Eon heran sendiri melihat banyak obat penurun panas di atas meja. Ia juga bingung melihat handuk di bawah kasur, tapi Jin Eon meskipun ia merasa aneh, ia memilih tidak menanyakan apapun pada sang noona dan mengajak sang ibu pergi.



Seok datang ke kantor membawa sarapan saat Ha Joon masih tertidur di meja. Seok pun menjahili Ha Joon. Ia menarik penutup mata Ha Joon, kemudian melepaskannya membuat Ha Joon meringis kesakitan terkena jepretan penutup matanya. Begitu melihat Seok, senyum Ha Joon pun langsung mengembang.


“Oh, ternyata kau, Sunbae. Kok bisa? Tapi sekarang Hari Minggu. Apakah kau datang untuk menjengukku...Kurasa tidak.” Ucap Ha Joon.

“Lensanya aman. Mereka membawanya kemari, jadi cepat bangun.” Jawab Seok.

“Secepat itu? Kemampuan mereka luar biasa. Tapi akankah penyidik mengakui mereka bersalah? Mereka akan tahu itu merupakan penyelidikan sasaran yang dipaksakan. Menurutku mereka tidak akan mudah bergerak.” Ucap Ha Joon.

“Sudah kupastikan dia mengganti kacamatanya sehari setelah kejadian.” Jawab Seok sembari memberikan kopi yang dibawanya pada Ha Joon.


“… Bila kita membawa lensa yang ditemukan di TKP dan lensa yang dipakainya sekarang, akan sulit bagi mereka tidak bergerak. Ini juga lensa khusus dan resep penglihatannya juga sama. Tapi yang lebih penting, seorang suami yang mengganti kacamatanya sehari setelah istrinya dibunuh, 100 persen dia orangnya.” Ucap Seok.

Seok lantas memberikannya roti baguette.

“Dasar keparat terkutuk! Begitupula kasus pembunuhan dengan pelaku remaja di jalan simpang lima Yakchon. Mereka tidak berniat menangkap penjahatnya setelah menyelidiki bukti. Kok bisa mereka masih menghajarnya dan tidak membiarkan mereka tidur, dan menyelidiki dengan pengakuan yang dipaksakan? Seharusnya tidak kubiarkan orang brengsek seperti bayam ini begitu saja...” sewot Ha Joon.

“Kau tidak akan merunduk? Leherku sakit.” Protes Seok.


“Bagaimana kau tahu aku suka roti baguette?” tanya Ha Joon.

“Kau berkeliling dengan roti baguette di mulutmu setiap pagi seperti anak anjing dengan tulangnya.” Jawab Seok.

“Apa? Itu artinya kau mengamatiku setiap pagi. Dengan hati-hati.” Tanya Ha Joon ge-er.

“Mana bisa aku tidak melihatmu saat kau seperti ini?” jawab Seok.

‘Kau memanggilku anak anjing, aku bukan anjing.” Ucap Ha Joon.


“Anjing atau anak anjing, terserah.” Jawab Seok.

“Kau seperti anjing kedengarannya seperti menghina. Tapi jika kau bilang, kau seperti anak anjing, seperti pujian. Kau memujiku, kan? Mulai dari pagi hari.” Ucap Ha Joon.

“Omong kosong tulang anjing apa itu? Kuatkan dirimu dan keluarlah dari kantung tidur itu!” jawab Seok.

“Aku akan keluar kalau kau mengencaniku.” Ucap Ha Joon.

“Berhenti bergurau.” Jawab Seok.

“Karena merepotkan, tidak usah berkencan dan lewati saja sampai menikah. Menurut pendapatku, bukan sepertinya kita tidak berkencan. Tak peduli apapun omongan orang, aku hidup tahun lalu merasa seperti sedang berkencan denganmu.” Ucap Ha Joon.

“Yang terpenting, kau mengidap penyakit tukang bohong? Cepat mandi dan pulang.” Jawab Seok.

“Apakah berkencan masalah besar? Kita makan bersama-sama dan pergi mengelilingi pengadilan bersama. Dari pagi sampai malam, kita bertatapan dan bicara, dan memikirkan masalah bersama. Dan bahkan setelah semua itu, semakin ingin bersama-sama. Semakin ingin.” Ucap Ha Joon.
“Selain penyakit tukang bohong, kau mengidap penyakit megalomania?” tanya Seok.


Ha Joon mengusap serpihan roti di bibir Seok, lalu menjilat tangannya.

“Aku menyukaimu. Aku amat sangat menyukaimu. Apa kau tahu ini? Wangimu enak. Wangi yang hangat. Keharuman seseorang.” ucap Ha Joon.

Ingatan Seok pun langsung melayang pada Hae Gang saat masih menjadi Dokgo Yong Gi. Saat itu, keduanya sedang menyantap makan siang. Seok mengambil nasi yang tertinggal di bibir Hae Gang dan memakannya. Hae Gang pun terheran melihatnya. Tak lama kemudian, Hae Gang menempelkan nasi di bibir Seok, kemudian mengambilnya dan memakannya.

“Kupikir kotor tetapi hangat, dan rasanya hangat.” Ucap Hae Gang.


Ingatan Seok pun buyar saat Ha Joon protes karena Seok terus menerus melihat ke arah pintu. Mereka kemudian berdebat. Tak lama kemudian, Hae Gang dan itu membuat Ha Joon kesal setengah mati.

“Sunbae Do, tak bisakah kau berhenti menjadi cantik? Standar ini...” ucap Ha Joon.

“Bersihkan kotoran matamu. Jangan mandi seperti kucing, dan jangan hanya menaruh pasta gigi di gigimu.” Sewot Seok.

“Kapan kulakukan?” protes Ha Joon.

“Kapan? Kemarin. Kemarin pagi. Kau sangat jorok. Aku tak tahan.” Jawab Seok.

“Tapi apa yang kau pakai saat ini?” tanya Hae Gang.

“Rumahku. Rumah bahagiaku.” Jawab Ha Joon.

“Ah, rumahmu kelihatan sangat hangat.” Puji Hae Gang.


“Tapi, sangat hangat, sulit keluar darinya, lantaran rumah murah. Sunbae, tarik ini. Tidak akan lepas karena aku keringatan.” Ucap Ha Joon.

“Kalau tidak lepas, maka jangan lakukan. Kalau begitu, ganti kantung tidurmu. Setiap hari kau menyuruhku melepasnya.” Protes Seok.

“Tolong tarik.” Pinta Ha Joon. 



Dan Hae Gang tersenyum geli melihat tingkah keduanya.


Ha Joon menyikat giginya dan mencuci mukanya di toilet. Usai menyikat giginya, ia ngomong sendiri.

“Dia buruk, bukan begitu? Karena melewatkan tangkapan bagus seperti Baek Sunbae. Permata yang dilepaskan Sunbae Do, pasti akan kudapatkan dengan tekun. Berjuang!”


Hae Gang menyerahkan lensa kacamata dan kacamata si pemilik restoran pada Seok. Ia lalu berkata, bukan 4288 tapi ada banyak sekali bukti bahwa penjahat sebenarnya adalah si pemilik kacamata.

“Masalahnya adalah penyelidikan polisi. Kami tidak bisa mempercayai mereka dan dikhianati, menurutku akan bagus menggunakan pers untuk kasus ini. sehingga polisi, jaksa dan hakim tidak dapat melakukan apa-apa. Dengan demikian kita akan dapat mengeluarkan Ibu Ha Na lebih cepat.” Ucap Hae Gang.


Seok pun setuju ide Hae Gang melibatkan pers. Hae Gang lalu meminta laporan otopsi.

“Tidak terkait, namun dia menikam 5 kali?” ucap Seok.

“Sedalam ini? Bahkan bukan lelaki, melainkan perempuan yang melakukannya?” tanya Hae Gang heran.

“Dan itu juga dalam waktu 2 menit 28 detik.” Jawab Seok.
Hae Gang kaget, apa? 2 menit 28 detik?

“Hasil CCTV adalah orang yang mencuri uang di konter pergi ke TKP pembunuhan dan pergi melewati konter lagi dan lari keluar pintu pada waktu itu. Dia bahkan bukan pembunuh yang ahli. Konyol, itulah adanya.” Ucap Seok.


Hae Gang kesal mendengarnya. Ia bahkan mengatai si pelaku keparat terkutuk. Seok pun tersenyum.

“Kenapa?” tanya Hae Gang heran.

“Keparat terkutuk. Kau mengucapkannya sama seperti yang kau lakukan dulu.” Jawab Seok.

“Sama seperti Yong Gi?” tanya Hae Gang sembari tersenyum.

“Sama seperti yang dilakukan Dokgo Yong Gi.” jawab Seok, juga sambil tersenyum.



Seol Ri yang baru membeli makanan Il Man dan Cheon Bong buru2 pulang karena ingat keduanya belum diberi makan. Ia bahkan berlari agar cepat tiba di lab, namun penyakitnya membuat ia terjatuh. Tepat saat itu, Gang San muncul dengan sepedanya. Gang San pun bergegas membantu Seol Ri, tapi Seol Ri menampik tangannya.

“Kau mengagetkanku.” Ucap Gang San.

“Lewati saja diriku.” jawab Seol Ri. Tapi Gang San malah duduk di sebelah Seol Ri.

“Aku mengidap penyakit. Aku terjatuh tanpa alasan dan tulangku patah. Ini penyakit yang membuatku terjatuh kapan saja seperti ini.” ucap Seol Ri.


“Begitu rupanya. Jadi begitu rupanya. Dan lalu?” tanya Gang San.

“Jangan seperti ini padaku.” Pinta Seol Ri.

“Tapi aku belum melakukan apa-apa. Aku harus melakukan sesuatu untuk berhenti melakukannya. Aku akan mencoba melakukan semuanya sekarang, tidak berhenti.” Jawab Gang San.

Seol Ri kaget, apa?

“ Kalau begitu, maukah kau keluar bersamaku 10 kali saja? Keluar bersamaku 10 kali dan kalau kau tidak menyukaiku, maka aku akan menyerah sepenuhnya.” Ucap Gang San.


Gang San kemudian membantu Seol Ri berdiri. Namun Seol Ri hanya diam saja.

“Pada saat-saat seperti ini, lumrah mengucapkan terima kasih.” Ucap Gang San.

Seol Ri berpikir sejenak, sebelum akhirnya ia mengucapkan terima kasih pada Gang San.

“Naik sepeda. Aku akan mengantarkanmu ke laboratorium.” Ucap Gang San.

“Tidak usah.” Tolak Seol Ri.

“Tolong, naiklah saja. Il Man dan Yi Cheon akan mati kelaparan.” Jawab Gang San.


Seol Ri pun menurut. Ia naik ke sepeda Gang San. Dan Gang San pun mengayuh sepedanya dengan senang hati.


Sesampainya di lab, Seol Ri langsung memberi makan Il Man Cheon Bong. Tapi kemudian, Gang San ikut melihat mereka dan itu membuat Seol Ri sebal.

“Mereka sudah tumbuh besar pada waktu itu. Kau keluar hanya untuk memberi mereka makan? Kau bahkan tidak beristirahat di akhir pekan.” Ucap Gang San.

“Kau tidak pergi? Bukankah kau datang untuk belajar?” tanya Seol Ri.

“Aku harus mendengarkan jawabanmu supaya bisa pergi belajar.” jawab Gang San.

“Jawaban apa?” tanya Seol Ri.


“Berkencan denganku 10 kali. Oke, baiklah. Hari ini terhitung selesai, jadi selanjutnya 9 kali. Dalam 9 kali itu, aku akan memikatmu atau kau boleh menendangku ke trotoar. Ayo bertaruh. Yang mana saja, kau akan menang. Kau tinggal mengalahkanku. Tanpa belas kasihan hancurkan khayalan memilikimu agar aku dapat bernapas.” Jawab Gang San.

“Mengapa aku harus melakukannya?” tanya Seol Ri.

“Karena kau tampak seperti orang yang telah disakiti oleh seseorang. Aku tak tahu pasti, namun kelihatannya seperti itu. Meskipun aku tidak tahu pasti, tampaknya kau harus terbebas darinya agar bisa membuka dirimu pada seseorang. Aku ingin diriku orangnya, tapi meskipun bukan.” jawab Gang San.

“Walau aku dosen, tetap saja aku ini seorang pendidik.” Ucap Seol Ri.

“Aku lulus di musim gugur.” Jawab Gang San.


“Kalau begitu, datanglah setelah kau lulus. Nanti, akan kupikirkan soal berkencan denganmu 9 kali.” Ucap Seol Ri.

“Cinta merupakan hal yang tak dapat diprediksi. Kalau begitu, bagaimana kalau seseorang merebutmu pada waktu itu. Apa yang akan kulakukan?” jawab Gang San.

“Maka kau harus menerima bahwa ini tidak ditakdirkan.” Ucap Seol Ri.

“Kau harus menciptakan takdirmu sendiri. Kalau begitu, sekali saja. Ayo berkencan sekali sebelum nanti. Dengan demikian aku bisa memastikan kau tidak melupakanku hingga nanti. Kalau kau tidak menjawab, aku akan tetap di sini seharian. Aku akan mengikutimu ke mana-mana seperti gila, asal tahu saja.” Jawab Gang San.

Dan Seol Ri pun menghela napas kesal.


Jin Ri ke apotik dan meminta obat pereda demam. Ia mengatakan, demamnya lebih dari 40 derajat celcius. Dia tak dapat bicara dan bahkan mengenalinya. Tapi petugas menyuruh Jin Ri membawanya ke rumah sakit saja untuk mencegah hal2 yang tidak diinginkan terjadi. Namun, Jin Ri malah sewot.

“Apa? Berikan saja padaku obatnya. Cepat! Apa sih yang kau tahu sampai mengoceh? Jual saja obatnya padaku!” teriak Jin Ri.

“Apa katamu?” tanya petugas.

“Kau tuli? Aku bilang berikan obat pereda demam! Obat pereda demam!” jawab Jin Ri.

“Apa? Aku hanya mengkhawatirkanmu. Pada siapa kau menjerit? Lupakan, aku tak bisa memberikanmu obatnya, jadi cari saja di tempat lain.” Ucap si petugas kesal.


“Maaf. Aku bersalah. Aku akan minta maaf. Nyonya Apoteker. Aku akan minta maaf setulusnya. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Mohon maafkan aku dan berikan obatnya. Ya? Suamiku sedang sekarat. Ayah anak-anakku sekarat, tapi dia tak bisa pergi ke rumah sakit. Dia tak bisa mendapatkan bantuan dari siapapun. Nyonya, tolong berikan obat padaku. Tolong berikan obat padaku!” rengek Jin Ri.

0 Comments:

Post a Comment